” Oh, ya, ” gumamku, sambil mengemudi, tenggelam dalam pikiranku tentang jadwal ketat hari ini.
Kekecewaan mengisi wajahnya.
” Ada apa, manis ? ” tanyaku dengan dungu.
” Tak apa – apa, ” kata anakku yang  berusia delapan tahun. Saat itu sudah berlalu. Di dekat rumah, kami  melambat sambil melihat – lihat pemandangan di pekarangan rumah kami.
Kami makan, mandi, menggunakan telepon, mengisi waktu hingga saatnya tidur.
” Ayo, Anny, waktunya tidur ! “  Ia  berlari menyusulku naik ke atas. Dengan lelah, aku mencium pipinya,  mengucapkan doa lalu menyelimutinya.
” Pap, aku lupa mau memberi papi sesuatu ! ” katanya. Kesabaranku habis.
” Besok pagi saja ! ” kataku, tapi ia menggelengkan kepalanya.
” Papi tak akan punya waktu besok pagi ! ” bantahnya.
” Papi pasti akan menyisihkan waktu, ”  kataku membela diri. Kadang – kadang betapa pun aku berusaha, waktu  mengalir diantara jemariku seperti pasir dalam jam pasir, tak pernah  cukup. Tak pernah cukup untuknya, untuk istriku, dan jelas tak cukup  untukku.
Ia belum mau menyerah. Ia mengerutkan hidungnya yang kecil dan mengibaskan rambutnya yang panjang.
” Pasti tak akan ! Pasti akan seperti  hari ini seperti waktu kuminta papi melihat burung. Papi bahkan tak  mendengar apa yang kubilang. “
Aku terlalu lelah untuk bertengkar, perkataannya menyerang begitu telak.
” Selamat malam ! ” Aku menutup pintunya dengan bunyi keras.
Namun, setelah itu, mata hitamnya yang  besar, wajahnya yang lucu mengisi bayanganku saat aku memikirkan betapa  sedikitnya waktu yang sebenarnya kami miliki hingga ia nanti dewasa dan  pergi dari rumah.
Istriku bertanya, ” Mengapa murung ? “
Aku menceritakannya.
” Mungkin ia belum tidur. Coba kau lihat, ” katanya. Aku mengikuti nasihatnya, ingin rasanya itu gagasanku sendiri.
Aku membuka pintunya sedikit, dan cahaya  dari jendela menyinari tubuhnya yang sudah tidur. Perlahan aku membuka  kepalan tangannya untuk melihat apa yang menyebabkan perselisihan kami.
Hatiku seperti tersayat. Ia telah merobek –  robek sebuah hati merah yang besar yang bertulisan puisi yang  dikarangnya, berjudul ” Mengapa Aku Mencintai Papiku ! “
Dengan hati – hati aku mengambil robekannya. Setelah hati itu disusun kembali, aku membaca apa yang dikarangnya.
Mengapa Aku Mencintai Papiku !
Meskipun kau sibuk dan bekerja keras
Kau selalu menyisihkan waktu bermain
Aku mencintaimu Papi karena
Akulah bagian terbesar dari harimu yang sibuk !
Perkataan itu bagai sebuah anak panah yang tepat menusuk jantung. Pada usia delapan tahun, ia memiliki hati yang bijaksana.
Sepuluh menit kemudian aku membawa  sebuah baki ke kamarnya, berisi dua cangkir cokelat panas dengan roti  bakar selai. Saat aku dengan lembut menyentuh pipinya, aku dapat merasa  hatiku dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam.
Bulu matanya bergetar, saat ia membuka kelopak matanya, ia terbangun dan memandang baki itu.
” Ini buat apa ? ” tanyanya, bingung oleh gangguan malam.
” Ini untukmu, karena kamu adalah bagian  terpenting dari hari papi yang sibuk ! “. Ia tersenyum dan meminum  setengah cangkir cokelatnya dengan mengantuk. Lalu ia tertidur kembali,  tak benar – benar mengerti betapa kuat aku memaksudkan apa yang baru  saja ku katakan.
Cerita yang menarik untuk disimak,  semoga memberi inspirasional bagi para orang tua yang berkarir untuk tetap  dapat membagi perhatian dan waktu untuk buah hatinya.  
Our child loves us always ! 


